Tanpa terasa kita segera melewati 10 hari pertama Ramadhan dan akan memasuki 10 hari kedua dan tentunya tidak lama lagi kita menghadapi 10 hari terakhir bulan Ramadhan, dimana Allah akan membebaskan hambanya dari api neraka atau di sebut juga fase Itkun minan naar.
Sebagaimana hadits-hadits Rasulullah yang masyhur bahwa di 10 hari terakhir terdapat Lailatul Qadr yaitu suatu malam yang dimuliakan oleh Allah dari malam-malam lainnya. Pada malam itu Allah memberikan keutamaan dan kebaikan yang teramat banyak, seperti yang tercantum di surat Al Qadr : 1-5 “Sesungguhnya, kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam Qadr (Kemuliaan). Tahukan kamu, apakah malam Qadr itu? Malam Qadr itu lebih baik daripada seribu bulan.
Pada malam itu, turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril de ngan izin Allah untuk mengatur segala urusan Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar”
Namun apakah kita sudah cukup peduli dengan keistimewaan Lailatul Qadr, cukup tanggap untuk memperoleh manfaat atau pahala di malam Lailatul Qadr, sebab tidak seperti keistimewaan pada suatu barang,
Namun apakah kita sudah cukup peduli dengan keistimewaan Lailatul Qadr, cukup tanggap untuk memperoleh manfaat atau pahala di malam Lailatul Qadr, sebab tidak seperti keistimewaan pada suatu barang,
keistimewaan yang yang ditetapkan pada suatu tanda waktu adalah keistimewaan pasif yang tidak aktual dengan sendirinya. Dibutuhkan respon dan aksi untuk mengaktualisasikannya, Lailatul Qadr akan bermakna apabila kita mengisinya dengan amal ibadah yang bernilai indah di mata Allah.
Tanpa itu, Lailatul Qadr hanya akan menjadi satuan waktu biasa seperti malam-malam biasa .
Yang paling baik kita lakukan pada Lailatul Qadr adalah beribadah dan ber-taqarrub kepada Allah. Diantara yang dianjurkan adalah:
Pertama, i’tikaf, yaitu berada di masjid. Rasulullah SAW melakukan I’tikaf dan menjadikannya budaya yang tidak pernah Beliau tinggalkan. Berdiam diri di mesjid dengan niat beribadah.
Bagi wanita boleh beri’tikaf dengan syarat mendapat izin dari suami, orangtua atau wali Dan dianjurkan Itikaf dengan suami atau keluarga serta tidak menimbulkan fitnah.
Amalan-amalan yang disunnahkan ketika Itikaf yaitu: Memperbanyak shalat sunnat (setelah Shalat Tarawih berjamaah), diantaranya: Shalat Tahiyatul Mesjid, Shalat Hajat, Shalat Istikharah, Shalat Taubah, Shalat Tasbih, Shalat Tahajud, Qiyamul Lail (Shalat Malam), Shalat Witir, Membaca Al-Qur’an dzikir, istighfar dan berdo’a
Kedua, Qiyamul Lail (Shalat Malam). Rasulullah SAW bersabda; “Barang siapa yang menghidupkan malam Lailatul Qadr dengan Qiyamul lail karena iman dan mengharapkan pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu diampuni”
Ketiga, berdo’a dan berdzikir. Aisyah RA berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana menurutmu apabila aku mengetahui Lailatul Qadr? Beliau bersabda; “Ucapkanlah, Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu’anna (Ya Allah, sesungguhnya Engkau adalah pemaaf dan menyukai maaf, maka maafkanlah aku)” (HR. Turmudzi)
Tanda-Tanda Lailatul Qadr
Lailatul Qadr dapat kita temui dari tanda-tandanya. Ahli hadits seperti Muslim, Ahmad, Abu Daud dan Turmudzi meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: “Saat terjadi Lailatul Qadr, malam terasa jernih, terang dan tenang. Cuaca sejuk. Tidak terasa panas. Tidak terasa dingin. Dan pada pagi harinya matahari terbit dengan terang benderang tanpa tertutup satu awan”
Ada beberapa ulama salaf yang setiap tahunnya menemui malam Lailatul Qadr, sehingga mereka menyimpulkan menjadi sebuah syair yang maksudnya sebagai berikut: “Apabila awal puasa Jum’at maka ambillah tanggal 29, jika diawali dengan Sabtu maka hari ke 21 tanpa ragu. Apabila hari Ahad, hari ke 27 dan jika hari Senin maka Lailatul Qadr 29. Jika Selasa awal puasa maka di hari ke 25 akan didapat, apabila awal puasa hari Rabu maka tanggal 27 Lailatul Qadr.
Sedang jika hari Kamis maka malam tanggal 23. Pendapat ini juga dikuatkan oleh beberapa ulama diantaranya Imam Nawawi.
Dan orang yang menghidupkan malam itu dengan amal-amal ibadah akan merasakan ketena ngan hati, kelapangan dada dan kelezatan dalam ibadahnya itu karena semua itu dilakukan dengan penuh keimanan dan mengharapkan ridho Allah SWT. (Grm/MU)
10 Malam Terakhir Bulan Ramadhan dan disunnahakannya I’tikaf
Sepuluh terakhir dibulan ramadhan hari yang memiliki keutamaan dan keistimewaan, terdapat didalamnya pahala yang besar dan keutamaan yang sangat agung diantaranya terdapat malam lailatul qadar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih bersungguh sungguh memperbanyak dalam beribadah dan beramal ketika sepuluh hari terakhir di bulan ramadhan.
Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Aisyah radiyallahu ‘anha menuturkan
يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَيَجْتَهِدُ فِى غَيْرِه
“Bahwasannya Nabi shalllallahu ‘alaihi wasallam bersungguh sungguh (beribadah dan beramal –ed) pada sepuluh hari terakhir di bulan ramadhan yang tidak seperti bersunguh-sungguh dihari lainnya.” (HR. Muslim)
Dan dalam hadits yang lain Aisyah radiyallahu ‘anhu menuturkan :
إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
“Nabi shallallahu ‘alalihi wasalalm apabila masuk sepuluh hari terakhir (di bulan ramadhan –ed) mengencangkan sarungnya, menghidupkan malamnya dan membangunkan istrinya” (HR. Bukhari dan Muslim)
Diantara bentuk untuk mengisi sepuluh malam terakhir dibulan ramadhan adalah dengan melaksankan i’tikaf.
I’tikaf adalah menetapnya seorang muslim yang mumayyiz di masjid dalam rangka untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah.
Yang hukumnya sunnah, hal ini berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’
Allah Subhaanahu wata’aala berfirman :
وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي المَسَاجِدِ
“(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.”(Qs. Al-Baqarah : 187)
Dari Aisyah menuturkan :
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf pada sepuluh terakhir dibulan ramadhan sampai Allah mewafatkannya. Kemudian ber’itikaf istri-istri beliu setelahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Syarat-syarat I’tikaf
- Muslim yang mumayyiz dan berakal. Tidak sah i’tikaf dari seorang kafir, orang gila dan anak kecil.
- Niat (niat beri’tikaf dalam rangka beribadah kepada Allah Ta’aala).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إنما الأعمال بالنيات
“Sesungguhnya segala amalan tergantung dari niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
- I’tikaf dimasjid
Allah Subhaanahu wata’aala berfirman
وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي المَسَاجِدِ
“Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.” (Qs. Al-Baqarah : 187)
- Masjid yang digunakan untuk i’tikaf yang biasa dipakai shalat jama’ah
- Bersih dari hadats akbar (besar). Tidak sah i’tikaf dalam keadaan junub, haid dan nifas.
Pembatal-Pembatal I’tikaf
- Keluar masjid dengan sengaja tanpa adanya hajat (kebutuhan).
- Jima’ (berhubungan suami istri) walau seandainya dilakukan pada malam hari
Allah Subhaanahu wata’aala berfirman :
وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي المَسَاجِدِ
“ (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.”(Qs. Al-Baqarah : 187)
- Hilangnya akal. Rusaknya i’tikaf dengan gila dan mabuk.
- Haidh dan nifas
- Murtad
Allah Subhaanahu wata’ala berfirman :
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ
“Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu.” (Qs. Az-Zumar: 65)
Kapan mulainya i’tikaf di sepuluh terakir dibulan ramadhan
Barangsiapa yang berniat i’tikaf di sepuluh terakhir dibulan ramadhan, maka dia masuk sebelum terbenamnya matahari pada hari ke dua puluh satu Ramadhan. Dikarenakan sepuluh terakhir itu dimulai dengan terbenamnya matahari. Ia mulai beri’tikaf pada malam itu. Dan keluar dari i’tikaf setelah terbenamnya matahari di hari terakhir bulan ramadhan. Insya Allah inilah pendapat yang terpilih.
Hal-hal yang disunnahkan bagi orang yang i’tikaf
Memperbanyak ibadah kepada Allah dengan shalat, dzikir, membaca AL-Qur’an, berdoa , memohon ampun dan bertaubat kepada-Nya serta ibadah-ibadah lainnya.
Hal-hal yang dibolehkan bagi orang yang i’tikaf
Keluar dari masjid untuk berwudhu, atau untuk buang hajat dan yang lainnya. Bagi para i’tikaf boleh untuk makan dan minum di sertai dengan menjaga kebersihan masjid.
Wallahu a’lam bis shawwab.
Ditulis oleh Abu Ibrahim ‘Abdullah AL-Jakarty
Puwerejo 18 Ramadhan 1433H/7 Agustus 2012
Sumber bacaan :
- Khutbatul Mimbar
- Fiqih Al-Muyasar
- Dll
Tidak ada komentar:
Posting Komentar