Kamis, 02 Agustus 2012

Salah Kaprah Anak Indigo

indigo-republika-0108.jpg

Label ‘indigo’ membuat mereka tak leluasa bergerak.
Setelah dicap sebagai anak indigo, Vincent Liong (22 tahun) mengaku hidupnya menjadi kurang nyaman. Gerak-geriknya selalu jadi bahan sorotan. Ynag menyebalkan, “Saya dibilang anak aneh dan selalu disalahkaprahi,” kata dia.
Indigo memang fenomena. Lantaran isu marginal, sedikit yang paham betul tentangnya. Akibatnya? Banyak diagnosis yang keliru terhadapnya. Dalam perspektif ilmu yoga, menurut Dr. Tubagus Erwin Kusuma, anak indigo mengalami kekurangan cakra warna kuning di bagian ulu hatinya. Warna kuning dalam aura terkait dengan pergerakan manusia. 
Lantaran kekurangan warna kuning, anak indigo umumnya kurang bergerak atau sebaliknya terlalu aktif bergerak hingga sering diduga mengalami gangguan ADHD (attention deficit hyperactivity Disorder), ADD (Attention Deficit Disorder), atau bahkan autis.

Erwin mengungkap, ada sejumlah kasus dimana anak indigo jatuh sakit lantaran tumbuh dalam lingkungan yang tidak kondusif. Contohnya adalah fakta soal anak indigo yang dimarahi ayahnya karena kedapatan sedang berbicara dengan makhluk halus. Sang ayah menganggap anaknya mengada-ada karena bicara sendirian. Sementara bagi anak ini adalah tindakannya wajar karena ia memang melihat makhluk tersebut.
“Anak itu kontan menjadi kebingungan dan bisa saja ia menjadi sakit jiwa,” kata dia. Proses penyembuhan, menurut Erwin, tidak bisa bersandar pada obat-obatan. “Yang harus diobati adalah konflik antara ayah dan anak itu,” tegasnya.
Di Jakarta, Erwin mensinyalir ada 70-an anak indigo, kebanyakan adalah pasien yang berobat ke klinik Pro-V miliknya. Tapi kondisi ini seperti puncak gunung es tatkala yang menyembul di luar hanya sepersepuluh bagiannya. 
Jadi, “Mungkin saja jumlahnya ada 700-an di Jakarta,” kata dia. Belum pahamnya masyarakat tentang anak indigo menjadi penyebab belum banyaknya terungkap anak indigo.
Sebagian kalangan medis menyatakan bahwa anak indigo mengalami kerusakan pada bagian otaknya. Namun Erwin menegaskan bahwa indigo bukan penyakit. Badan Kesehatan Dunia (WHO), kata dia, bahkan tidak mencantumkan indigo dalam international classification of diseases. 
Lantaran indigo bukan penyakit, tak perlu dilakukan terapi untuk menyembuhkan anak indigo. “Yang dibutuhkan adalah pembinaan untuk anak, orangtua, guru supaya mengerti cara menangani anak indigo,” terangnya lagi.
Saat ini, lanjut Erwin, Depdiknas misalnya tengah membuat panduan bagi guru reguler tentang bagaimana menghadapi anak indigo. Buku panduan itu juga berlaku bagi para guru home-schooling. Sejumlah anak indigo memang enggan bersekolah di sekolah biasa. “Program ini direncanakan dibuat dalam jangka panjang. Nantinya akan ada sekolah khusus anak indigo,” terangnya lagi.
Peran Orang tua
Jika ditanya enak enggak menjadi anak indigo, Feri Trihandoko dan Bagus Torasanto bisa dgn mudah menjawab ‘tidak’. Anak-anak indigo bagai tak memiliki batas dengan alam supranatural. Ini menjadi kendala tersendiri bagi mereka. 
Feri, misalnya sempat mengalami rasa pusing tak berkesudahan selama setahun akibat pelbagai “penampakan” yang kerap berseliweran di hadapannya. Ini membikin studinya terganggu. Di sekolah ia kerap keluar masuk ruang Unit Kesehatan Siswa (UKS). Nilai rapornya sempat kosong selama beberapa bulan.
Demikian pula Bagus. Kerap didatangi informasi-informasi ‘gaib’ di kepalanya, Bagus kecil tak jarang jatuh sakit. Ini lantaran Bagus kerap memendamnya sehingga menjadi beban bagi fisiknya.
Toh, hal itu bukannya tanpa solusi. Setelah menginjak belia, Bagus jauh lebih piawai dalam mengendalikan info-info gaib yang datang sekonyong-konyong. Demikian pula Feri yang sejak kelas 1 SMA ‘tiarap’ dalam menggunakan kemampuan indera keenamnya. Bagus, misalnya, dapat mengontrol informasi-informasi yang mampir ke benaknya agar tak menjadi bumerang yang malah menyulitkan dirinya. Setidaknya, “Dia tahu kapan harus diam atau bicara,” kata Emmy Nurhayati, ibu Bagus. 
Salah satu terapi yang Emmy terapkan untuk Bagus dan terbukti ampuh adalah memperbanyak dzikir dan shalat lima waktu.
Pelajaran pertama ditanamkan kepada anak, menurut Emmy, adalah pemahaman bahwa kemampuan indera keenam merupakan anugerah dari Allah. “Ini sesuatu yang tak bisa dihindarkan,” kata Emmy yang juga indigo dan semasa remaja kerap jatuh sakit lantaran mencoba menolak keindigoannya.
Tak syak lagi, menurut Emmy, orang tua berperan besar dalam memperingan beban indigo yang dipikul sang anak. Kuncinya adalah, “Jangan sampai anak merasa bahwa kelebihan indera keenam yang mereka miliki adalah beban, sebagai sesuatu yang amat-amat serius,” kata Emmy yang kerap bercanda dengan puteranya itu tatkala muncul penampakan-penampakan.
Senada dengan Emmy, Erwin mengatakan bahwa peran orang tua amat vital. Orangtua harus mampu memberi pengertian pada anak indigo tentang potensi mereka yang lain. Anak indigo yang dicap badung lantaran tak mau berbaris, misalnya, bisa diajak bicara dengan mengatakan “Berbaris itu gampang lho, kamu pasti bisa lebih dari itu,” tiru Erwin.
Karen itulah Erwin menekankan perlunya para orangtua yang anaknya indigo untuk ‘bersatu’. Paling tidak, mereka bisa melakukan sharing soal jurus terbaik menangani anak-anak indigo. Di Jakarta sendiri ada indigo sharing club.
 “Penanganan yang benar terhitung penting demi perkembangan anak,” papar Erwin yang mengungkapkan soal adanya kasus-kasus anak indigo yang frustasi lantaran mereka gagal beradaptasi dengan lingkungan.
Menurut Erwin, anak indigo yang lahir di tengah keluarga yang mengerti kondisinya justru akan banyak berguna buat orang lain. Seperti membantu menyembuhkan penyakit lewat tenaganya. Inilah yang dilakukan Bagus Torsanto. Belum lama, cerita Bagus kepada Republika, ia mengobati seorang kawan ibunya yang diduga tengah didera masalah psikis.
Entah mengapa, inspirasi pengobatan selalu datang usai shalat. Anehnya lagi, tangan Bagus seolah bergerak sendiri memegang kepala teman ibunya itu. Sekonyong-konyong rasa nyeri dari kepala itupun hilang.
Mereka Bergerak Melawan Stigma
“Tidak ada yang ajaib dari anak indigo,” kata vincent liong tegas. Sejak dipublikasikan media massa pada 2004, label indigo serta merta melekat dalam diri Vincent. Kebebasannya terenggut. Vincent pun mulai berhenti menulis soal-soal metafisika.Toh, ia merasa terus disorot dan, dalam kadar tertentu merasa terusik.
Satu-satunya cara keluar dari label indigo, menurut Vincent, adalah dengan membuktikan bahwa indigo bukanlah sesuatu yang spesial, berbakat atau extraordinary. Inilah yang dilakukan Vincent dengan metode kompatiologinya.
 Metode ini memungkinkan kemampuan yang dimiliki anak indigo dapat diduplikasikan secara massal untuk anak-anak lain dalam berbagai bidang. Sebab, ” ketika semua bisa memiliki kemampuan setara dengan si indigo maka label itu akan mati,” tutr dia.
Kompatiologi telah mengubah secara radikal peminat-peminatnya. “Mereka menjadi lebih efesien dalam menghadapi hidup dan berani memenuhi panggilan jiwa,’ kata Vincent. Kompatiologi tidak menciptakan cenayang-cenayang, melainkan memungkinkan seseorang mengadopsi sistem berpikir yang dimiliki anak-anak indigo – para anak jenius.
Pernyataan terbesar yang mengusik Vincent adalah, ” untuk apa menjadi indigo jika kita cuma sekadar menjadi barang tontonan,” tuturnya. “Yang terpenting para indigo harus mampu melakukan perubahan. Perubahan itu dimulai dari perubahan paradigma berpikir kita dalam menyikapi realitas. 
Kita dididik untuk berpikir objektif, padahal kita bias berpikir subjektif,” katanya menjelaskan
Menurut pengamat indigo, Leonardo Rimba, solusi bagi anak-anak indigo adalah membantu mengurai kesulitan mereka menyesuaikan diri dengan lingkungan. Ia mengkritik pelabelan indigo yang dialamatkan kepada anak-anak ini. 
Demikian pula kelas khusus indigo yang dirancang pemerintah. Leonardo meminta program tersebut dibuat atas dasar tantangan untuk membantu anak menyesuaikan diri. Bukan untuk memisahkan mereka.
Istilah indigo sendiri dipandangnya Leonardo sebagai remang-remang. Mengapa? “karena kemampuan batin adalah hal lumrah. Semua manusia memiliki kemampuan itu,” ujar pria lulusan Universitas Indonesia dan the Pennsylvania State University itu.
Pelabelan indigo akan menjadi beban buat anak-anak, sebab bisa menjadi bumerang. “Mereka dianggap benar-benar wah. ini mengandung risiko karena anak bisa jadi hancur jika tidak tahan kritik, ” papar dia
Sumber: Indira, Republika, Januari 2008

b _��N� 

Artikel Terkait:

Read more at http://lenterablogger.blogspot.com/2012/05/cara-buat-artikel-terkait-scroll-bar.html#O8DI5OjM5JsWXsFK.99

Tidak ada komentar:

Posting Komentar